search judul postingan

Mengutuk Sang Detik


Dengan pandangan yang tidak sanggup menjangkau ragamu.
324000 detik kulewati, puan.
kepercayaan terhampar diatasnya.
Telah  kucicipi dan terasa gundah pada tiap sisinya.
Kata tunggu darimu terngiang di otakku.
Membuatku tergerak tuk menaburi begitu banyak doa.
Lalu, kau kembali. Merekahkan kebahagiaan untukku.


Lagi,
Ku taruhkan 10800 detik untukmu, puan.
Pada sepi dan resah
ku bermain-main dengan sebuah tali
yang menggantung harap akan suara derap langkahmu.
Tapi, tali itu terputus.
Digunting oleh setiap pengkhianatan yang kau kirim.
Bukan lagi kepercayaan yang terhampar.
Kini aku yang terdampar.
Kamu, tidak datang puan.


Apa gerangan yang membuatmu berubah
Begitukah sebuah penantian seharusnya dibalas
Atau kita terlalu membuat Sang Pemilik Hati cemburu
Pada tiap doa yang kita panjatkan untuk saling mencinta
Hanya berujung pada sebuah perpisahan
Inikah ujian atau petunjuk


Wahai Pemberi Cinta,
Haruskah ku menanti lagi atau berhenti
Pada puan yang bahkan enggan menukar 60 detiknya untukku?
Kemudian diam terasa begitu berkawan

Aku berpasrah pada-Mu.

ENDING


Dia sedikit tersenyum melihat sebuah pesan telah tiba di ponselnya. Ada seseorang yang ingin menemuinya.

“5 menit lagi harus sampe ya” tertulis sebuah pesan masuk pada handphonenya.

“ah yang benar saja orang ini” gerutu dia.

Dia yang masih tenggelam dalam balutan selimut segera bangkit. Dengan sisa rasa pusing dikepalanya karena sudah 3 hari lamanya ia demam, membuatnya berjalan dengan sempoyongan. Ia merasakan hawa dingin yang dengan nakal menggelitiki kulitnya.

“uh, dingin banget deh” ujarnya yang merasa menggigil. Ia kemudian memutuskan untuk menggunakan air hangat untuk mandi.

Dengan kondisi badannya yang kurang sehat sungguh menghambat kecepatan pergerakan tubuhnya. Sesekali ia harus terduduk dulu. Karena ia terlalu sibuk merias wajahnya agar tidak terlihat pucat membuatnya lupa bahwa ia sudah terlalu lama bersiap-siap. Ia kemudian meraih handphone nya. Terdapat beberapa pesan yang datang ke ponselnya dari seseorang yang ingin menemuinya itu.
Ia segera membukanya dan benar saja ternyata orang itu sudah menunggunya di tempat yang ia putuskan untuk bertemu.

“ah, kukira dia akan menjemputku” gumam gadis itu, tapi ia tetap merasa tidak apa-apa, karna kali ini yang terpenting ia bisa berjumpa. Kemudian ia menggerakan jari-jarinya untuk segera membalas.

“udah sampai ya?” tanyanya.

“iya. Pliss jangan lama. Lu tau kan bagi cowo nunggu 1 menit itu lama” balas seseorang disebrang sana.

Tubuhnya seketika kembali merasa lemas. Seperti tarikan gravitasi terasa lebih kuat dari biasanya. Dia langsung mengutuk segala rasa bahagia yang ia rasakan sebelumnya. Untuk apa? Pikirnya. Bahagia bertemu dengan orang yang tidak pernah tau apa itu menunggu. Bahagia bertemu untuk seseorang yang tidak pernah menghargai sebuah penantian. Rasanya ia ingin bersumpah untuk tidak lagi dipertemukan dengan seseorang seperti ini, dan semoga suatu saat ia akan mengerti betapa pentingnya menunggu sesuatu. lihat saja.

Matanya sudah terasa perih, ia ingin menangis. Merasakan terseret pada sebuah waktu dimana ia pernah menjadi seseorang yang dengan bodoh dan setia menunggu cowo itu 3 bulan lamanya. Ia bahkan pernah menunggu orang itu dengan rasa percaya selama 3 jam dan yang di tunggu tidak datang. Lalu ia berpikir, untuk apa menangisi orang seperti itu? Tidak berguna.

Dia segera melangkahkan kakinya keluar rumah membawa segala amarah untuk ia lemparkan pada orang yang sedang menunggunya.

Sesampainya di tempat yang ia janjikan tidak butuh waktu lama baginya untuk menemukan orang itu.

“tuh, Cuma mau kasih itu. Kalo mau pergi. Silahkan” ujarku dengan tegas. Ku berikan pandangan yang semoga saja bisa menamparnya. Namun ketika ia memandangku, entah mengapa tetap ada perasaan yang aneh. Pandangan matanya sangat sulit untuk ku baca. Bahkan, ia terlihat takut untuk menatapku.

Terdapat beberapa pertanyaan yang terus lelaki itu lontarkan padanya. Dia pun menjawab seadanya.   Tidak banyak ingin gadis itu bicara pada lelaki dihadapannya kali ini. Terasa asing.  Tidakkah lelaki itu ingin bertanya apa gadis itu baik-baik saja? Atau sang gadis sudah terlalu hebat dalam menyembunyikan ketidak-baik-baik sajanya itu?

Tidak lama, laki-laki dihadapannya pamit untuk segera pergi. Gadis itu semakin saja dibuat sakit olehnya.
“kayaknya gue harus pulang duluan” ujarnya.

“jangan pergi dulu” gumamnya dalam hati. Namun gadis itu mengangguk pelan.  Tiada kuasa ia untuk menahannya pergi. Untuk apa? Lagi-lagi pikirnya.
“iyaudah” jawab gadis itu dengan sangat berusaha agar suaranya tidak terdengar bergetar.

Tanpa basa-basi lagi, laki-laki dihadapannya benar-benar beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan seorang gadis sendirian. Ia berjalan terus tanpa menoleh sedikitpun.

“kamu kenapa?” tanyanya dalam hati. Ingin sekali rasanya gadis itu menyunggingkan sepotong senyum untuk lelaki yang kini semakin menjauh saja. Bukan pertemuan seperti ini yang gadis itu harapkan. Bukan. apa semuanya benar-benar tidak dapat diperbaiki lagi? 

Setelah tidak lagi pandangannya menjangkau punggung  laki-laki itu. Gadis itupun menarik napas dengan dalam. Kemudian menghembuskannya. Mecoba untuk baik-baik saja.  

Gadis itu menundukkan kepalanya. Menggigit bibir bawahnya dengan keras. “jangan nagis. Ayo kuat. Semua ini terjadi karena aku kuat. Jangan nangis lagi untuk laki-laki seperti itu, kumohon” ocehnya dengan lirih. Namun nihil, airmatanya dengan paksa berderai untuk mengusap kedua pipinya.

“aku gakuat. Katanya segala sesuatu akan terjadi tanpa diluar batas kesanggupan tiap orang. Lalu apa ini? Aku gakuat.” ujarnya.

Dia benar-benar tidak tau harus melakukan apalagi. Ia putus asa dan berkali-kali dengan lirih mengucapkan “aku gakuat”. Lalu, ia teringat dan menyetujui apa yang diucapkan seorang penulis bernama Soe Hok Gie, bahwa memang benar beruntung sekali orang-orang yang telah mati muda.

Pikiran gila mulai merasukinya. Rasanya ia ingin segera mengalihkan rasa sakit hatinya dengan rasa sakit yang lain. Matanya tertuju pada jalan raya dengan lalu lalang mobil dan motor yang melaju dengan cepat. Khayalnya membawa ia untuk berada ditengah-tengah jalan itu dan rasanya ia ingin ....

Pikirannya tersadar setelah sebuah dering handphone yang menggetarkan genggamannya. Ada telpon masuk. Ia segera mengangkatnya.

“Ashilla?” terdengar suara lelaki yang tidak asing ditelinganya.

“kenapa Rio?” tanya gadis itu dengan amat pelan.

“lagi dimana?”

“lagi di tempat makan nih” jawab Shilla.

“sama siapa lu?” tanyanya.

“sendiri”

“dih kayak orang bego” ujarnya

“emang gue bego” jawab Shilla dengan isakan.

“eh? Elu kenapa eh?” terdengar suara panik dari sebrang sana.

“gapapa”

“ih suara lu beda. Udah pulang sono. Nanti kita main sama sivia juga. Lu lagi pengen masakan jepang kan? Ntar kita kesanaaa”

“iya”  ujar Shilla.

“eh sekarang aja deh. Lu dimana? Gue jemput”

Shilla memberitau keberadaannya. Seperti telah dikirimkan penolong dari Tuhan untuk menyelamatkan hidupnya. Tidak butuh waktu lama Shilla bertemu dengan Sivia dan Rio. Shilla diajak ke sebuah tempat yang memang sedang sangat ia harapkan ada seseorang yang mau menemaninya kesana.

Dan disanalah pada akhirnya mereka berada. Menyaksikan keparauan seorang Shilla.

“pasti abis ketemu sama Cakka” tebak Sivia membuka percakapan.

Shilla mengangguk.

“dasar bego. Kalo lu ade gue, udah gue marahin abis-abisan lu. Gue suruh jangan pernah ketemu lagi sama cowo itu. Bego banget dasar” omel Rio pada Shilla.

“Riooo..” tegur Sivia.

“biarin aja vi. Emang gue bego” ujar Shilla dengan lirih. “taaaaapiiii, sekarang gue harus seneng ah. Gue mau makan kare udon. Gue tunggu sini. Kalian yang pesen. Haha cepet-cepet!” perintah Shilla. Entah kenapa dia berlaku sperti itu. Seolah rasa sakitnya lenyap begitu saja. Ia lemparkan senyuman terbahagianya untuk Rio dan Sivia yang merupakan sahabatnya sejak SD. Mencoba meyakinkan 2 sahabatnya itu bahwa Shilla baik-baik saja.

Kedua sahabatnya ikut tersenyum. Tanpa mengelak dua orang itu meninggalkan Shilla untuk membawakan apa yang diinginkan Shilla. Kedua sahabatnya selalu menyemogakan Shilla untuk kembali menjadi Shilla yang bahagia selalu. Dan tanpa membutuhkan waktu yang lama, kedua sahabatnya telah kembali tiba di meja makan yang Shilla tempati.

“ini tuan putri” ujar Rio yang mampu membuat Shilla merasakan geli dipipinya.

Rasa sakit itu memang ada. Namun, ia rasa tidak sepantasnya rasa sakit untuk dibagikan kepada orang lain. Cukup rasa bahagia yang seharunya untuk dibagi kepada banyak orang yang berharga dan mengargainya. Sambil berbincang dan melepas tawa bersama 2 orang sahabatnya yang ia temukan semasa SD itu. Shilla sempat menyelipkan sebuah doa.

“ya Tuhan, terimakasih telah menghadirkan mereka disaat aku terguncang hebat tadi. Untuk kali ini, aku mohonkan padamu,aku sudah merelakan segalanya yang telah pergi dariku, cita-citaku, sahabatku, bahkan Cakka. Tapi,  jangan biarkan mereka meninggalkanku. Bahkan ku mohon pertemukan kami bertiga di surga nanti.”

Semua kesedihan yang ada bukanlah tanda dari berakhirnya sebuah kisah. Karna pada akhirnya, sebuah kisah telah dipastikan akan menemukan akhir yang bahagia. Maka yakinlah, akan ada kebahagiaan yang sedang menuju ke arahmu setelah rasa sakit yang begitu hebat.

***

Tamat.
The really tamat of story about him. Hihi gasabar bertemu sebuah kisah yang baru.

Seee you ! :) 

Maybe, this is the last.


Mungkin ini untuk yang terakhir kalinya tulisku berbicara tentangmu.

***

Aku terhenti pada sebuah bangunan bercat merah,  membasuh sedikit keringat yang membasahi dahiku. Ah, aku sangat tidak menyukai jika harus berangkat ke kampus di tengah siang hari Minggu seperti ini. Benar-benar merusak mood. Jika bukan karena keperluan tugas kelompok dan organisasi, gaakan deh aku berniat ke kampus.

Tak jauh dari tempatku berdiri, terdapat seseorang yang melambai-lambaikan tangannya kearahku. Aku menyipitkan mataku untuk lebih memfokuskan siapa orang itu. Aku balas melambaikan tanganku ketika kudapati dia adalah orang yang ku kenal. Setelah itu, orang itu kembali terlihat mengalihkan pandangan pada ponselnya. Aku yang merasa penasaran segera saja ku hampiri dia yang sedang duduk di sebuah bangku panjang berwarna hijau pada sudut taman, dimana tempat itu benar-benar jarang sekali dilewati orang untuk berlalu lalang.

Tap tap tap.

“Rio, lu ngerjain tugas juga kesini?” sapaku setelah sampai dan duduk disampingnya.

“hmm?” sahutnya dengan gumaman pelan.

Aku semakin merasa penasaran, sedang apa orang ini sampai tidak mengalihkan perhatiannya dari ponsel ketika aku menyapanya.

“lu liatin apa sih yo?” tanyaku.

Dia menghembuskan nafas berat, kemudian ku lihat jarinya mengusap ikon home pada ponselnya dan segera menatapku dengan tatapan –menyedihkan-.

“ternyata Ify gak kayak yang gue kira selama ini Shill, kayaknya gue akan segera berhenti jatuh cinta sama dia” ujarnya.

Ify adalah mantan kekasihnya yang baru saja putus dengannya beberapa bulan lalu. Aku sangat tahu dari sekian banyak cerita yang telah ia bagi bersamaku sudah sangat amat menjelaskan bahwa ia sangat amat menyayangi mantan kekasihnya itu. Namun, entah ada apa mantannya itu meninggalkannya. Dan itu sangat membuatnya rapuh, namun rasa sakitnya tidak jua kunjung memudarkan rasa sayangnya kepada mantannya itu. Justru dia selalu berdoa ingin sekali dipertemukan kembali. Sama sepertiku.

Dan saat ini, aku merasa terkejut bukan main. Ia mengatakan bahwa ia akan berheti jatuh cinta kepada mantan kekasihnya itu.

“kenapa???” heranku. Sangat heran.

“susah gue jelasin. Biar lu ngerti, coba gue mau nanya... lu satu-satunya mantannya Cakka?”tanyanya. Seperti biasa, tiap kali ia ingin menjelaskan sesuatu ia akan membawa-bawa mantan kekasih ku, Cakka.

“enggak” jawabku.

“lu tau mantan-mantannya?” tanyanya lagi.

“ng.......” aku berfikir keras mencoba mengingat hal yang menurutku sangat tidak penting.

“ah masa lu gatau Shill. Satu aja dah coba diinget”

“I KNOW!!!!” teriakku antusias sambil tersenyum karna bisa mengingatnya.

“biasa aja, biasaaa.” Tanggap Rio.

“hehe, maaf. Emang kenapa?”

“lu tau akun sosmednya gak?” tanyanya lagi.

“kayaknya ada di facebook” ujarku.

 “bagus, lu bakal ngerti kalo ini juga dilakukan Cakka”

“apasih Rio? To the point plis. Gue lagi males berteka-teki” ujarku yang sudah sangat merasa penasaran dengan Rio.

“yaudah. Lu stalk dia coba. Sebentar aja” ujar Rio. Ku lihat mata Rio begitu sendu. Membuatku merasa tidak nyaman. “haha takut lu yaaa?” tanya Rio yang menerjemahkan diamku.

“iye. Soalnya biasanya emg kalo lu abis seneng garagara Ify, biasanya gue juga seneng gara-gara Cakka, taaaapi, itu juga berlaku kalo lu sedih” ujarku yang sudah sangat biasa melakukan hal-hal baper terkait mantan bersama Rio.

“yaudah coba dulu stalk fb mantannya. Moga aja dia tukang update status dan ada petunjuk disana” ujar Rio yang semakin membuatku penasaran.

Suasana menjadi terasa sedikit menegangkan, aku mencari akun mantan Cakka pada sebuah sosial media, dan dengan mudah ku temukan. Aku melihat profil akunnya yang terdapat foto dia bersama dengan lelaki berseragam polisi. ‘wah dia sudah move on dari Cakka, berarti dulu Cakka mungkin ga terlalu bikin dia sayang sama Cakka, atau Cakka ga terlalu sayang sama cewek ini’ gumamku dalam hati, membuatku merasa bahwa aku satu-satunya perempuan yang bisa membuatnya menjadi sangat jatuh cinta. Menduga-duga hal seperti itu membuat pipiku merasa panas. Aku baru ingin mengungkapkan apa yang aku pikirkan tentang Cakka kepada Rio, namun tidak segan rasaku mengingat tatapan sendu yang masih berkelabut di mata Rio. Dengan segera akupun berpikir, pasti bukan ini yang Rio maksud.

 Aku kembali menelusuri timeline mantan kekasih Cakka.. aku terus mengscroll down menuju masa lampaunya. Dan.... hap, kutemukan sebuah keluhan yang sangat jelas aku tahu bahwa ini untuk Cakka.

‘ah, dia galau banget’ pikirku.

Aku terus membaca satu persatu status yang dibuatnya, sangat frontal tertuju untuk Cakka. Mataku memanas melihat 1 kalimat yang ia buat. Aku merasakan apa yang ia rasakan saat itu. Aku kembali beralih ke status yang lain. Semakin membuatku tenggelam akan perasaanku sendiri untuk Cakka disaat setelah putus.

Aku tidak lagi berniat melanjutknya. Kalimat-kalimat yang terus aku baca hanya menyeretku kembali pada luka yang belum benar-benar sembuh karena Cakka.

Aku langsung melirik tajam kearah Rio, merasa sangat kesal dan tidak habis pikir, apa  maksudnya menyuruhku melakukan hal seperti ini. Rio, orang yang biasanya menjagaku untuk perlahan sembuh dari luka justru sekarang seperti salah memberi obat untuk lukaku.

“ngerti gak?” tanyanya.

“gajelas lu. Maksudnya apaan deh?” kesalku. Sungguh, aku merasakan pilu  di dadaku yang sudah sebulan lamanya ku hindari.

“ya, itu. Sakit kan? Ternyata dia tuh sama aja dari dulu. Kita gaada spesialnya buat dia. Di memperlakukan kita sama kayak mantan-mantannya. Dia bukan mengulangi kesalahan yang sama, tapi dia akan tetap kayak gitu. Itu sifat dia. Dia jahat, dan yang paling bikin sakit, dia akan terima dengan umpatan kita kalo dia jahat. Seolah dia emang dengan sadar melakukan semua hal yang bikin kita sakit. Dan...........................” ujar Rio menggantungkan kalimatnya untuk mencoba menarik dan menghembuskan nafas beratnya.

“gue gatau gimana caranya buat lagi-lagi berfikir dia akan kembali, dia adalah jodoh gue. Gue gabisa lagi mikir itu Shill.” Parau Rio.

Aku terpaku. Tiap kalimat yang diucapkan Rio benar-benar menyentuh hatiku. Dan ku benarkan begitu. Aku juga merasakan apa yang Rio rasakan sekarang. Aku putus asa. Entah, aku benar-benar jadi terdiam. Rio yang mendapati diamku mulai membuka galeri foto di handphonenya. Kulirik ia sedang memandangi satu album yang hanya berisi foto Ify. Tangannya mulai mengarahkan untuk menghapus poto-poto itu.

“ehhh. Tunggu Rio!” sanggahku dengan cepat.

“kenapa?” tanyanya.

“mungkin, kali ini dia akan beda. Kalo dulu ceritanya dari mantannya dia berpaling kan ke kita? Mungkin kalo sekarang mereka lagi memperbaiki diri buat balik ke kita? Ga ada yang gamungkin kan?”

“iya, gaada yang gamungkin. Termasuk mungkin aja ia akan berpaling ke yang baru. Dan kita harus ikhlas. Ga ada yang gamungkin kan?” ucapnya membalikan pendapatku.

Aku semakin saja ditusukan tombak tajam ke dadaku oleh Rio. Rasanya aku tidak tahan lagi untuk menahannya. Aku ingin menangis. Benar-benar ingin menangis saat dihujam begitu banyak kenyataan yang harus aku terima seperti yang Rio utarakan. Aku merasa tidak menerimanya. Tapi, saat ini bukan waktu yang tepat untukku menumpahkan rasa sedihku. Rio sedang sangat rapuh. Aku teringat dengan kebiasaan sahabat lama ku, disaat satu sahabat sedang merasa sedih, yang lainnya harus menguatkan. Jadi, kupikir saat ini aku yang harus menjadi kuat untuk Rio.

“yaudah yo, kalo begitu kita juga harus kayak mantannya itu. Coba buka lembaran baru, liat mantannya sekarang pada baik-baik aja kan. Malahan udah ada penggantinya”

“tapi, gue itu....”

“ga mau terima itu? Gue tau yo. Gue juga gitu. Ga terima. Gue ngerasa, ga sepatutnya ketulusan kita itu Cuma buat bahan mainan mereka. Tapi, itulah cinta. Ga jelas. Udahlah” sanggahku memotong omongan Rio. Pikirku, bicara itu lebih mudah dibanding bertindak.

“hahahahahahhahahahahaha” Rio tertawa lepas.

“dih? Kenapa lu ketawa?”

“kita kok drama banget deh”

“emaaang. Siapa yang mulai duluan?” tanyaku.

“heheh. Maaf deh mba’e. Mau gue traktir cilok?”

“ga napsu lagi gue sama cilok!” ujarku.

Drtttttt....drrrrttttt...
Handphoneku bergetar tanda panggilan telah masuk. Aku segera mengangkatnya.

“halo? Dimaanaa? Ohh perpus aja nih?. Iyaaa gue kesana ini, yaa. Oke bye” ujarku singkat menjawab panggilan dari teman sekelompokku untuk segera menemuinya.

“yo, kelompok gue udah pada dateng. Gue mau ke perpus. Lu mau ikut ga?” tanyaku.

“oh yaudah sana. Gue disini dulu. Belum pada dateng kelompok gue” ujarnya.

“yaudah gue tinggal ya. Jangan galau!” ujarku.

“gue yang harusnya bilang gitu ke elu. Hahahahah” ujarnya diselingi tawa.

“idih. Gaklah yau” ujarku sambil berlalu meninggalkan Rio.

Aku melangkahkan kaki menuju perpus yang letak gedungnya cukup membuaku berpuluh-puluh kali melangkahkan kaki untuk sampai disana. Pikirku pun melayang pada apa  yang diungkapkan Rio barusan. Rasanya sangat kesal, kecewa, dan ingin marah. Namun tidak ada yang bisa ku lampiaskan.

Aku membuka ponselku, mengecek chat terakhir yang baru saja kukirimkan kemarin sore padanya. Dan kulihat, hanya ada tanda read dari pesan itu. Mantannya yang dahulu boleh saja galau dan mengupdate status hanya karena hal seperti ini, seolah Cakka harus paham bahwa ia sangat dibutuhkan. Pikirku, sebelum aku melakukan stlaking pada status-status lama mantannya Cakka mungkin aku akan melakukan hal yang sama seperti mantannya itu. Tapi sekarang bagiku itu hal yang sangat rendah, mengemis perhatian pada orang yang sudah sangat tidak peduli denganmu,  aku tidak boleh seperti itu. Dan yaaa karena untuk saat ini, entah kuingin tidak lagi peduli tentangnya. Jika seperti itu yang akan terjadi pada akhirnya... ia melupakanku, kemudian mencari yang baru. Akupun harus lebih bahagia darinya.


Mungkin ini untuk yang terakhir kalinya tulisku berbicara tentangmu.
Mungkinkah?



TAMAT.

Yang Terpendam


Meringkuk ku pada tepian kasur, lagi-lagi tubuhku bergetar hebat, ku tarik nafas dalam-dalam. Mencoba menenangkan diri. Ku tatap layar handphone. Tanda pesan telah terbaca terasa menyiksaku. Ingin ku merengek pada si pembaca pesan itu untuk menemani ku sebentar lagi. Tidak, tidak sebentar, tapi semalaman. Tapi apa kuasa ku?


Dia masih sama, si penghindar masalah dengan tidur. Dia tak banyak menanggapi, seolah merasa cukup diam dan aku akan memahaminya. Memang benar begitu, aku paham dia. Walau dia akan menyangkal bahwa aku tidak tahu apa-apa tentang dia, tapi aku akan tetap menegaskan, bahwa aku orang yang paling mengerti dia.


Rasa rindu yang menggerogoti relung hatiku kian menggaduh. Lelah sungguh rasanya memendam segala hal yang biasanya akan aku curahkan dengan mudah. Kemudian aku teringat dia, kenapa dia menyukai hal seperti ini?


***


Baru saja ingin ku matikan handphone ku. Tiba-tiba sebuah pesan datang.

“shill?”

Aku tersenyum asam karna bukan pesan dari orang yang ku harapkan yang mengirim pesan itu. Tapi ah, benar. Tepat sekali aku sedang butuh dia.

“haaaiiiiii, Rio” balasku.

“abis di chat Cakka lu yak?”  tanyanya.

“iya. Tp ini menyedihkan” balasku.

“ah dasar cilok. Bikin sedih mulu. Eh kurang lu kan sukanya cilok dikecapin yak?” canda Rio.

“wkwkwkwk bodo aaaah Rio, gue mau kirim screenshoot penjelasan dia kenapa mutusin gue nih”

“deh dasar mantan lu cemen yak, diajak ketemuan gamau. Trus jelasin baru sekarang. Pasti dia baru nemu tuh alesan yang bagus Shill” ujar Rio yang memang selalu saja mengejek Cakka.

“ya seperti itu memang dia. Mau ga liattttt?” tanyaku.

“yaudah sini” Ujarnya.

Aku mengirimkan screenshoot penjelasan Cakka memutuskan hubungan denganku kepada Rio.
Tidak butuh waktu lama, Rio segera membalasnya.

“dia sayang banget sama lu Shill” ujar Rio. Ini sekian kalinya ia menanggapi tiap pesan yang dikirimkan Cakka untukku.

“i know”

“terus kenapa menyedihkan?”

“karenaaa...... gue ga terima. Wkwk. Gue tuh ga akan pernah terima 2 hal yang sering jadi pemikiran cowok”

“apatuh?”

“ini ’1. Gue harus lepasin dia,  pasti ada orang lain yang bisa bikin dia lebih bahagia’. Gue gaterima itu karna kenapa dia ga mikir, gue harus bisa bahagiain dia gimanapun caranya” jelasku.

“yg kedua?” balas Rio.

“gini ‘gue sukses dulu, baru deh deketin dia’. Gue gaterima karna kenapa dia ga mikir, pertahanin selagi bisa. Jagain selagi bisa. Lu gatau 1 detik kemudian pun bisa bikin hati orang berpaling. Apalagi nanti pas udah punya segalanya. Tinggal tunjuk dah tuh lu mau cewe kayak gimana” ungkapku.

“wkwk ngerti bgt lu ya Shill. Emang sih........ tp gue pertahanin loh. Malah ditinggalin. Kadang cewe kan pasti jg suka mikir yang lu pikirin tentang cowo itu tuh juga kan pasti” ungkap Rio. Ya, Rio memiliki nasib yang sama denganku. –baru saja beberapa bulan diputusin-

“kaga gue mah. Gaada ah cewe begitu. Itu real kebulshittan cowok” sanggahku meyakinkan.

“dih? Buktinya? Gue yg ditinggalin coy. Lu lupa kalo gue cowok kali yak” sanggah Rio.

“wkwk iya mungkin ga semua ya Rio. Tp kebanyakan kayak gitu tau” ujarku masih tak mau kalah.

“coba lu bilang gitu sama Cakka” suruhnya.

“udah secara ga langsung. Dan seperti biasa. Dia ga menanggapi”

“susah sih model cowok kayak Cakka. Tapi sumpah Shill, dia sayang banget sama lu. Dia mempertahankan image dia kalo dia mutusin lu buat hal yang baik” ungkap Rio membuat penjelasan.

“iya Rioooo. Gue paham”

“terus kenapa lu masih ga terima”

“karena dia ninggalin gueeeeee”

“dia bakal dateng lagi Shilla buat lu. Mau taruhan?”

“gayakin. Dia ga meyakinkan gue.” Ungkapku yang masih tidak terima.

“ya, kan tuh cilok dikecapin sifatnya begitu. Suka telepati sama lu. Gue jamin lu juga punya pikiran yg sama kayak gue”

“ah. Sudahlah”

“Shilla sudah lelah”

“tepat sekali Rio. Tadi lu kenapa ngechat gue?” tanyaku mengalihkan pembicaraan yang sudah cukup membuatku mual untuk membahasnya.

“gapapa. Gue kesepian” ujarnya.

“wkwk sian amat tayaangkuuuu”

“hiks. Lu ga tidur?”

“ini mau bobo. Ada yang mau lu ceritain ga ke gue?”

“gaada Shill, bobo aja udah malem. Udah puas kan lu ngedumel?”

“wkwk iyaaa puas banget”

“oyasumi Shilla-chan. {}”

“oyasumi Rio-kun {}”


Kami mengakhiri percakapan. Ya, dia Rio. Sahabat terbaru ku yang benar-benar sudah menemani masa menyedihkan. Tuhan benar-benar menyayangiku karena telah mnegirimkan Rio di waktu yang sangat tepat. Tanpa Rio, mungkin aku tidak terselamatkan dari tenggelamnya pada kelamnya sebuah kisah.


Kemudian aku memejamkan mata, merasa sedikit lega. Seperti biasa, aku akan berdoa sebelum tidur dan menyelipkan beberapa kalimat.

‘aku berharap,  Cakka ditakdirkan hanya untukku. Dan semoga Rio bisa menjadi sahabat sejati yang tidak akan meninggalkanku’



kemudian ada rasa panas di pelupuk mataku, aku merasa dan sangat tahu bahwa apa yang aku harapkan tidak ada kemungkinan 100% terwujud. namun kali ini bagiku, hal itu sudah sangat biasa untuk ku hadapi. Memang mungkin hanya aku yang tidak kapok dengan sebuah harapan. walau sudah digantungkan setinggi langit dan kemudian terlepas dan jatuh berkeping-keping. Aku adalah orang yang senang untuk kembali lagi ke langit menggantungkan harapan baru dengan mengabaikan tiap sakitnya terjatuh yang pernah aku alami.



Lalu....
 aku tersenyum geli dan bergumam pelan mengatakan  ‘bodoh’. Tapi kuabaikan, karena ini harus jadi hari yang menyenangkan, entah mengapa.



TAMAT

No More.




Prolog:

Detik bergulir dengan lambat. Terik matahari terasa amat menyengat dari balik jendela yang kupandang sejak  2 jam yang lalu. Pada balik jendela itu, Dia harap ada sosok muncul dengan senyum yang biasa disungguhi sebagai pelipur rindunya.

Nihil, 2 jam berikutnya pun tak kunjung dia temui tanda kehadiran orang itu. Matanya terasa panas, ia kerjap-kerjapkan tapi tak jua mendingin, yang ada justru buih air mata yang tidak bisa ia bendung lagi. Nafasnya terasa berat. Seketika sekitarnya terasa hening, pandaangannya tidak lagi fokus. Pikirannya entah ada dimana. Dia terasa seperti sebuah raga kosong, lemas, tak berdaya.

Kemudian, di berdiri dengan segenap tenaga yang masih dia punya, melangkahkan kaki yang terasa berat. Rongga dadanya mendadak tak ramah pada oksigen yang ia hirup dengan berat. Sesak rasanya. Diapun memukul-mukul pelan dadanya dengan refleks.


***

Dia berdiri di tepi jalan, masih dengan pikiran yang entah kemana, sekelebatan memori bergerombol merasuki otaknya yang tak bisa ia kendalikan.

“aku gabakal lah ninggalin kamu, susah dapetinnya”
“aku gabakal bisa bahagia kalo gasama kamu”
“aku Cuma mau kamu”
“iya, aku gaakan pergi”
“aku sayang sama kamu, Ashilla. Sayaaang banget”

Ah. Dia pijat pelan pelipis kepalanya. Terlihat raut wajah yang muak dengan ingatan yang tiba-tiba terlintas di benaknya. ‘pembohong. Kamu pembohong besar. Bajingan. Jahat’ gerutunya dalam hati. Sakit benar sakit. Hati yang biasa memuji sosok yang ditunggunya itu kini justru mengutuk habis-habisan.

Suara klakson kendaraan umum menyadarkannya. Kembali dapat ia dengar riuh jalan raya, dan banyaknya tatapan orang yang melemparkan banyak tanya tentang kondisinya saat ini. Dia tak tau mau kemana, rasanya ingin pergi jauh. Meninggalkan semua jejak kenangan yang dapat mengingatkannya dengan Cakka.

Dia menuju sebuah stasiun kereta, dia tidak ingin pulang dengan keadaan separau itu. Diapun memutuskan pergi ke suatu rumah temannya yang cukup jauh. Butuh waktu 1,5 jam untuk sampai dirumah temannya dari tempatnya berada. Tidak apa-apa baginya. Memang dia sedang ingin pergi jauh saat ini.

Selama diperjalanan, dia habis-habisan menahan rasa sesak di dadanya dan rasa panas di permukaan matanya. Rasanya ingin cepat  ia tumpahkan semua kekecewaan yang dia rasakan saat itu. Di suatu perjalanan menuju rumah temannya, ia menyinggahi sebuah rumah ibadah, masjid pada sudut staasiun cukup sepi. Karena ini sudah melewati beberapa jam waktu solat zuhur.

Dia masuk untuk melakukan sembahyang dan kemudian ia menyilakan kakinya. Terasa sedikit tenang. Dia menengadahkan tangannya, kemudian berdoa. Dia curahkan segala kekecewaan  pada-Nya. Memohon pada-Nya untuk membuat ia merasa lebih baik.

Namun, kupikir ada hal yang sangat bdoh akan permintaannya.

Bodohnya dia meminta untuk membuat Cakka kembali.

Bodohnya dia berharap semua kan baik-baik saja.

Bodohnya dia mengemis agar dia tetap bersama Cakka.

Bodohnya dia saat itu. Dia tak bersyukur. Dia sangat marah. Sangat kecewa. Dan merasa murka.

Kemudian dia keluar, pandangannya sedikit lebih fokus. Dia teruskan perjalanan menuju rumah temannya. Tak butuh waktu lama dari stasiun untuk tiba di rumah temannya.
Baru saja dia ingin mengetuk pintu rumahnya, namun temannya sudah meneriaki namanya dari dalam. Temannya pun membuka pintu, menunjukkan wajah khawatirnya.

“dia ga datang Vi” ujarnya langsung dan memeluk Sivia. Tangisnya lagi-lagi pecah. Dia ingin setidaknya ada 1 orang yang tau bahwa dia benar-benar dalam kodisi yang sangat tidak baik.

***

Beberapa bulan kemudian…..

Diary yang sudah sangat lama tidak ia sentuh, ia beranikan diri untuk menyentuhnya. Ia buka lembar demi lembar, terlalu banyak nama Cakka disertai sebuah simbol love pada sudut kiri atas tiap lebarnya. Terlalu banyak cerita dengan tagline ‘aku bahagia karnamu, Cakka’ pada tiap akhir catatan hariannya itu.

Lembaran demi lembaran yang biasanya ia baca tanpa bosan tiap harinya kini berubah menjadi sebuah hal yang paling menyakiti dirinya.

Tangannya terhenti pada 1 halaman kosong, ia raih pulpen yang selalu menempel pada sisi buku diarynya itu. Ia arahkan pulpen itu untuk kembali membuatnya menulis. Namun ada yang berbeda dari tulisannya kali ini, tak lagi ia tulis terlebih dahulu nama Cakka pada sudut kiri atas halamannya dengan simbol love. Dan tidak ada tagline dengan kalimat ‘aku bahagia karnamu, Cakka’ pada penghujung catatannya.


“Cinta itu ga adil.
Karna dia pada akhirnya menyisakan 1 yang bahagia dan 1 yang tersakiti.
Karna dia pada akhirnya menyisakan 1 yang akan menjadi lebih baik dan 1 yang akan menjadi hancur.
Namun kenapa kulihat banyak insan mengharapkan ada cinta yang datang.
Kenapa banyak orang mejadi penikmat cinta berulang kali.
Apa hanya aku yang merasakan cinta itu tidak baik?
Atau hanya aku yang pada akhirnya tidak lagi dapat mencinta?
Atau ternyata hanya aku yang pernah terluka karna cinta?
Cinta itu tidak baik.
Hanya akan menghancurkanmu.
Jangan lagi percaya dengan cinta.”

Tulisnya. Ia menggigit keras bagian bawah bibirnya. Menahan agar airmatanya tak lagi jatuh. Ia segera menutup diarynya. Menguncinya dan meletakkan pada sebuah kardus yang berisi banyak benda pemberian Cakka. Kunci yang merupakan satu2nya alat yang dapat ia gunakan untuk membuka diarynya itu ia buang ke tempat sampah. Ia lakban kardus dihadapannya. Dan menyimpannya pada sebuah tempat yang membuatnya tidak bisa melihatnya.


***


Epilog :


Seumur hidupnya, Ashilla adalah sesosok gadis yang dikenal baik hati, periang, anggun, dan mengagumkan. Selalu peduli dengan kebahagiaan orang disekitarnya. Namun sejak kejadian yang membuatnya kehilangan seseorang yang membuat dirinya begitu merasa sempurna, tak akan lagi kau temukan cahaya dari padangan matanya. Baginya, hidupnya sudah berakhir. Ashilla yang dulu sudah pergi bersama cintanya. Kini Ashilla hanya hidup sebagai dirinya yang baru, yang mungkin hanya akan ada karna memang ia masih hidup. Tanpa lagi percaya dengan cinta. Tanpa ada lagi coret-coretan wish list pada diarynya. Tanpa ada lagi kebahagiaan yang utuh untuk ia tunjukkan.

Kini Ashilla hanya menjadi seorang yang akan terlihat berbeda, seorang yang rasanya ingin ku doakan agar dikirimkan seseorang yang dapat mengembalikan cahaya di matanya, senyum bahagia di bibirnya, dan sosok yang akan mengagumkan lagi.

***


Cerita ini terlalu singkat, karna aku sendiri sebagai sudut pandang pertama, tak kuasa untuk menuliskan setiap kata untuk menggambarkan betapa terpuruknya Ashilla sebagai tokoh pada sudut pandang ketiga.
Terimakasih.


Tercekik Hampa


Aku sedang berjalan dengan cepat, tepat 5 langkah dibelakang seseorang dengan tubuh yang lebih tinggi 10 cm dari ku. Kakinya yang panjang membuatku sulit untuk menyamakan langkahnya. Aku telusuri pandanganku untuk menatap bagian belakang tubuhnya. Bertahun-tahun bersamanya membuatku lamban menyadari bahwa dia sudah menjadi seorang pria, pikirku. Sangat nyaman ku pandang dia dari belakang. Melihat tubuh tegapnya membuatku berkhayal jauh dan ingin berlari untuk memeluknya dari belakang. Aku semakin menikmati pemandangan dihadapanku ini  diselingi hembusan angin sore yang dengan lembut mengusap sisi pipiku, yang membuat pipiku semakin terasa panas sebab pikiran gila yang terus merasuk dalam anganku tentangnya.


Uh tidak, aku terlalu dalam tenggelam dalam khayalku. Aku tidak menyadari bahwa aku jauh tertinggal dibelakangnya. Aku tergopoh-gopoh mempercepat langkahku. Setelah berhasil mendekat dan hanya berjarak 1 langkah darinya, kakiku tertahan. Aku terpaku. Entah hawa mengerikan yang mengelilingiku berasal darimana. Entah mengapa aku tidak bisa melangkahkan kakiku lagi. Padahal tinggal selangkah aku akan berada disampingnya.


Ada yang berbeda. Apa ini, rasanya ada suasana yang berubah. Ku pandang langit masih cerah, sepoi angin masih tertiup. Pohon-pohon masih dengan rindang membuat jalanku menjadi teduh. Semua normal bahkan indah. Tapi kurasa ada yang berbeda. Ada yang asing disekitarku.


Aku berlari secepat mungkin untuk menghampiri kekasihku. Perasaan takut macam apa yang sedang bergelayutan di dasar hatiku ini. Jika aku bercermin saat ini juga, kupastikan tidak ada tanda-tanda darah mengalir pada permukaan wajahku. Aku pucat pasi. Aku masih berlari. Kurasakan bulu disekitar leherku merinding, membuatku semakin mempercepat kakiku untuk berlari.


Nafasku tersengal, aku hampir sampai meraih tangan kekasihku. Aku benar-benar kelelahan. Aku tidak menyangka bahwa aku membutuhkan tenaga yang banyak untuk mengejar kekasihku ini, pikirku dia sangat dekat. Aku masih mengontrol nafasku. Aku berhasil berada sejajar dengan kekasihku. Aku pelankan langkahku. Ku ambil sapu tangan dari dalam tas slempangku. Aku mengelap habis keringat yang bercucuran, masih sambil berjalan disampingnya.
Masih terasa ada yang asing disekitarku, namun ku sedikit merasa tenang dan terjaga karna saat ini aku menggenggam tangan kekasihku. Aku mengedarkan pandanganku ke segala penjuru arah. Ku telusuri tiap pandangku untuk menyelidiki asal hawa dingin yang kurasakan saat ini.


 Tibatiba pandanganku terhenti saat memandang wajahnya. Dia tersenyum padaku. Tapi senyumnya terasa begitu hambar dan menyeramkan. Entah hatiku mendadak terasa seperti terhunus tombak tajam. Oksigen yang kuhirup terasa berat dan membuatku sesak. Dia masih tersenyum padaku. Tapi kenapa? Aku merasa ada yang lain dari dirinya.


Aku tersadar, ternyata yang membuatku merasa ketakutan justru kekasihku, bukan keadaan disekitar sini. Dengan reflek, tanganku melepaskan genggaman tangannya. Telapak tangannya benar-benar terasa dingin. Seperti es batu.

Kenapa dia?  

Tidak.

Ini bukan kekasihku.

Siapa dia?

Dimana kekasihku?

...

Kembali reflek.. kakiku seolah mengambill alih akan diriku untuk berjalan menjauhinya. Tidak. Aku tidak kuasa memberontak, aku tidak ingin bertambah jauh darinya. Tapi, kaki ini terus membawa ku menjauh....
Terus menjauh.. menjauh... hingga aku tidak bisa melihatnya lagi. Sedikitpun.


Tiba-tiba, kakiku mulai berhenti bergerak, aku baru saja ingin memulai untuk melangkah kembali ke tempat kekasihku berada. Tapi tiba-tiba ada suara berbisik namun dengan nada membentak, 

“diam!!!!. Kamu hanya perlu diam disini. Jika dia benar kekasihmu, dia akan mencarimu. Menghampirimu. Jadi diam. Jangan bergerak sedikitpun” dengarku.


Kemudian aku terduduk. Entah kenapa airmataku keluar dengan deras. Aku semakin kesusahan untuk menghirup oksigen. Sesak. Perih. Aku tidak kuat. “Cepat temui aku, aku butuh kamu” gumamku sesenggukan.


Aku masih diam di tempat. Hari sudah semakin gelap. Hatiku semakin terasa sakit. Apa yang harus aku lakukan. Pikiranku sudah kacau. Benar-benar seperti orang hilang akal.



Aku...................





Tamat.