Mungkin ini untuk yang terakhir kalinya tulisku berbicara
tentangmu.
***
Aku terhenti pada sebuah bangunan bercat merah, membasuh sedikit keringat yang membasahi
dahiku. Ah, aku sangat tidak menyukai jika harus berangkat ke kampus di tengah
siang hari Minggu seperti ini. Benar-benar merusak mood. Jika bukan karena
keperluan tugas kelompok dan organisasi, gaakan deh aku berniat ke kampus.
Tak jauh dari tempatku berdiri, terdapat seseorang yang
melambai-lambaikan tangannya kearahku. Aku menyipitkan mataku untuk lebih
memfokuskan siapa orang itu. Aku balas melambaikan tanganku ketika kudapati dia
adalah orang yang ku kenal. Setelah itu, orang itu kembali terlihat mengalihkan
pandangan pada ponselnya. Aku yang merasa penasaran segera saja ku hampiri dia
yang sedang duduk di sebuah bangku panjang berwarna hijau pada sudut taman,
dimana tempat itu benar-benar jarang sekali dilewati orang untuk berlalu
lalang.
Tap tap tap.
“Rio, lu ngerjain tugas juga kesini?” sapaku setelah sampai
dan duduk disampingnya.
“hmm?” sahutnya dengan gumaman pelan.
Aku semakin merasa penasaran, sedang apa orang ini sampai
tidak mengalihkan perhatiannya dari ponsel ketika aku menyapanya.
“lu liatin apa sih yo?” tanyaku.
Dia menghembuskan nafas berat, kemudian ku lihat jarinya
mengusap ikon home pada ponselnya dan segera menatapku dengan tatapan
–menyedihkan-.
“ternyata Ify gak kayak yang gue kira selama ini Shill,
kayaknya gue akan segera berhenti jatuh cinta sama dia” ujarnya.
Ify adalah mantan kekasihnya yang baru saja putus dengannya
beberapa bulan lalu. Aku sangat tahu dari sekian banyak cerita yang telah ia
bagi bersamaku sudah sangat amat menjelaskan bahwa ia sangat amat menyayangi
mantan kekasihnya itu. Namun, entah ada apa mantannya itu meninggalkannya. Dan
itu sangat membuatnya rapuh, namun rasa sakitnya tidak jua kunjung memudarkan
rasa sayangnya kepada mantannya itu. Justru dia selalu berdoa ingin sekali
dipertemukan kembali. Sama sepertiku.
Dan saat ini, aku merasa terkejut bukan main. Ia mengatakan
bahwa ia akan berheti jatuh cinta kepada mantan kekasihnya itu.
“kenapa???” heranku. Sangat heran.
“susah gue jelasin. Biar lu ngerti, coba gue mau nanya... lu
satu-satunya mantannya Cakka?”tanyanya. Seperti biasa, tiap kali ia ingin
menjelaskan sesuatu ia akan membawa-bawa mantan kekasih ku, Cakka.
“enggak” jawabku.
“lu tau mantan-mantannya?” tanyanya lagi.
“ng.......” aku berfikir keras mencoba mengingat hal yang
menurutku sangat tidak penting.
“ah masa lu gatau Shill. Satu aja dah coba diinget”
“I KNOW!!!!” teriakku antusias sambil tersenyum karna bisa
mengingatnya.
“biasa aja, biasaaa.” Tanggap Rio.
“hehe, maaf. Emang kenapa?”
“lu tau akun sosmednya gak?” tanyanya lagi.
“kayaknya ada di facebook” ujarku.
“bagus, lu bakal
ngerti kalo ini juga dilakukan Cakka”
“apasih Rio? To the point plis. Gue lagi males berteka-teki”
ujarku yang sudah sangat merasa penasaran dengan Rio.
“yaudah. Lu stalk dia coba. Sebentar aja” ujar Rio. Ku lihat
mata Rio begitu sendu. Membuatku merasa tidak nyaman. “haha takut lu yaaa?”
tanya Rio yang menerjemahkan diamku.
“iye. Soalnya biasanya emg kalo lu abis seneng garagara Ify,
biasanya gue juga seneng gara-gara Cakka, taaaapi, itu juga berlaku kalo lu
sedih” ujarku yang sudah sangat biasa melakukan hal-hal baper terkait mantan
bersama Rio.
“yaudah coba dulu stalk fb mantannya. Moga aja dia tukang
update status dan ada petunjuk disana” ujar Rio yang semakin membuatku
penasaran.
Suasana menjadi terasa sedikit menegangkan, aku mencari akun
mantan Cakka pada sebuah sosial media, dan dengan mudah ku temukan. Aku melihat
profil akunnya yang terdapat foto dia bersama dengan lelaki berseragam polisi.
‘wah dia sudah move on dari Cakka, berarti dulu Cakka mungkin ga terlalu bikin
dia sayang sama Cakka, atau Cakka ga terlalu sayang sama cewek ini’ gumamku
dalam hati, membuatku merasa bahwa aku satu-satunya perempuan yang bisa
membuatnya menjadi sangat jatuh cinta. Menduga-duga hal seperti itu membuat
pipiku merasa panas. Aku baru ingin mengungkapkan apa yang aku pikirkan tentang
Cakka kepada Rio, namun tidak segan rasaku mengingat tatapan sendu yang masih
berkelabut di mata Rio. Dengan segera akupun berpikir, pasti bukan ini yang Rio
maksud.
Aku kembali
menelusuri timeline mantan kekasih Cakka.. aku terus mengscroll down menuju
masa lampaunya. Dan.... hap, kutemukan sebuah keluhan yang sangat jelas aku
tahu bahwa ini untuk Cakka.
‘ah, dia galau banget’ pikirku.
Aku terus membaca satu persatu status yang dibuatnya, sangat
frontal tertuju untuk Cakka. Mataku memanas melihat 1 kalimat yang ia buat. Aku
merasakan apa yang ia rasakan saat itu. Aku kembali beralih ke status yang
lain. Semakin membuatku tenggelam akan perasaanku sendiri untuk Cakka disaat
setelah putus.
Aku tidak lagi berniat melanjutknya. Kalimat-kalimat yang
terus aku baca hanya menyeretku kembali pada luka yang belum benar-benar sembuh
karena Cakka.
Aku langsung melirik tajam kearah Rio, merasa sangat kesal
dan tidak habis pikir, apa maksudnya
menyuruhku melakukan hal seperti ini. Rio, orang yang biasanya menjagaku untuk
perlahan sembuh dari luka justru sekarang seperti salah memberi obat untuk
lukaku.
“ngerti gak?” tanyanya.
“gajelas lu. Maksudnya apaan deh?” kesalku. Sungguh, aku
merasakan pilu di dadaku yang sudah
sebulan lamanya ku hindari.
“ya, itu. Sakit kan? Ternyata dia tuh sama aja dari dulu.
Kita gaada spesialnya buat dia. Di memperlakukan kita sama kayak
mantan-mantannya. Dia bukan mengulangi kesalahan yang sama, tapi dia akan tetap
kayak gitu. Itu sifat dia. Dia jahat, dan yang paling bikin sakit, dia akan
terima dengan umpatan kita kalo dia jahat. Seolah dia emang dengan sadar
melakukan semua hal yang bikin kita sakit. Dan...........................” ujar
Rio menggantungkan kalimatnya untuk mencoba menarik dan menghembuskan nafas
beratnya.
“gue gatau gimana caranya buat lagi-lagi berfikir dia akan
kembali, dia adalah jodoh gue. Gue gabisa lagi mikir itu Shill.” Parau Rio.
Aku terpaku. Tiap kalimat yang diucapkan Rio benar-benar
menyentuh hatiku. Dan ku benarkan begitu. Aku juga merasakan apa yang Rio
rasakan sekarang. Aku putus asa. Entah, aku benar-benar jadi terdiam. Rio yang
mendapati diamku mulai membuka galeri foto di handphonenya. Kulirik ia sedang
memandangi satu album yang hanya berisi foto Ify. Tangannya mulai mengarahkan
untuk menghapus poto-poto itu.
“ehhh. Tunggu Rio!” sanggahku dengan cepat.
“kenapa?” tanyanya.
“mungkin, kali ini dia akan beda. Kalo dulu ceritanya dari
mantannya dia berpaling kan ke kita? Mungkin kalo sekarang mereka lagi
memperbaiki diri buat balik ke kita? Ga ada yang gamungkin kan?”
“iya, gaada yang gamungkin. Termasuk mungkin aja ia akan
berpaling ke yang baru. Dan kita harus ikhlas. Ga ada yang gamungkin kan?”
ucapnya membalikan pendapatku.
Aku semakin saja ditusukan tombak tajam ke dadaku oleh Rio.
Rasanya aku tidak tahan lagi untuk menahannya. Aku ingin menangis. Benar-benar
ingin menangis saat dihujam begitu banyak kenyataan yang harus aku terima
seperti yang Rio utarakan. Aku merasa tidak menerimanya. Tapi, saat ini bukan
waktu yang tepat untukku menumpahkan rasa sedihku. Rio sedang sangat rapuh. Aku
teringat dengan kebiasaan sahabat lama ku, disaat satu sahabat sedang merasa
sedih, yang lainnya harus menguatkan. Jadi, kupikir saat ini aku yang harus
menjadi kuat untuk Rio.
“yaudah yo, kalo begitu kita juga harus kayak mantannya itu.
Coba buka lembaran baru, liat mantannya sekarang pada baik-baik aja kan.
Malahan udah ada penggantinya”
“tapi, gue itu....”
“ga mau terima itu? Gue tau yo. Gue juga gitu. Ga terima.
Gue ngerasa, ga sepatutnya ketulusan kita itu Cuma buat bahan mainan mereka.
Tapi, itulah cinta. Ga jelas. Udahlah” sanggahku memotong omongan Rio. Pikirku,
bicara itu lebih mudah dibanding bertindak.
“hahahahahahhahahahahaha” Rio tertawa lepas.
“dih? Kenapa lu ketawa?”
“kita kok drama banget deh”
“emaaang. Siapa yang mulai duluan?” tanyaku.
“heheh. Maaf deh mba’e. Mau gue traktir cilok?”
“ga napsu lagi gue sama cilok!” ujarku.
Drtttttt....drrrrttttt...
Handphoneku bergetar tanda panggilan telah masuk. Aku segera
mengangkatnya.
“halo? Dimaanaa? Ohh perpus aja nih?. Iyaaa gue kesana ini,
yaa. Oke bye” ujarku singkat menjawab panggilan dari teman sekelompokku untuk
segera menemuinya.
“yo, kelompok gue udah pada dateng. Gue mau ke perpus. Lu
mau ikut ga?” tanyaku.
“oh yaudah sana. Gue disini dulu. Belum pada dateng kelompok
gue” ujarnya.
“yaudah gue tinggal ya. Jangan galau!” ujarku.
“gue yang harusnya bilang gitu ke elu. Hahahahah” ujarnya
diselingi tawa.
“idih. Gaklah yau” ujarku sambil berlalu meninggalkan Rio.
Aku melangkahkan kaki menuju perpus yang letak gedungnya
cukup membuaku berpuluh-puluh kali melangkahkan kaki untuk sampai disana.
Pikirku pun melayang pada apa yang
diungkapkan Rio barusan. Rasanya sangat kesal, kecewa, dan ingin marah. Namun
tidak ada yang bisa ku lampiaskan.
Aku membuka ponselku, mengecek chat terakhir yang baru saja
kukirimkan kemarin sore padanya. Dan kulihat, hanya ada tanda read dari pesan
itu. Mantannya yang dahulu boleh saja galau dan mengupdate status hanya karena
hal seperti ini, seolah Cakka harus paham bahwa ia sangat dibutuhkan. Pikirku,
sebelum aku melakukan stlaking pada status-status lama mantannya Cakka mungkin
aku akan melakukan hal yang sama seperti mantannya itu. Tapi sekarang bagiku
itu hal yang sangat rendah, mengemis perhatian pada orang yang sudah sangat
tidak peduli denganmu, aku tidak boleh
seperti itu. Dan yaaa karena untuk saat ini, entah kuingin tidak lagi peduli
tentangnya. Jika seperti itu yang akan terjadi pada akhirnya... ia melupakanku,
kemudian mencari yang baru. Akupun harus lebih bahagia darinya.
Mungkin ini untuk yang terakhir kalinya tulisku berbicara
tentangmu.
Mungkinkah?
TAMAT.