search judul postingan

No More.




Prolog:

Detik bergulir dengan lambat. Terik matahari terasa amat menyengat dari balik jendela yang kupandang sejak  2 jam yang lalu. Pada balik jendela itu, Dia harap ada sosok muncul dengan senyum yang biasa disungguhi sebagai pelipur rindunya.

Nihil, 2 jam berikutnya pun tak kunjung dia temui tanda kehadiran orang itu. Matanya terasa panas, ia kerjap-kerjapkan tapi tak jua mendingin, yang ada justru buih air mata yang tidak bisa ia bendung lagi. Nafasnya terasa berat. Seketika sekitarnya terasa hening, pandaangannya tidak lagi fokus. Pikirannya entah ada dimana. Dia terasa seperti sebuah raga kosong, lemas, tak berdaya.

Kemudian, di berdiri dengan segenap tenaga yang masih dia punya, melangkahkan kaki yang terasa berat. Rongga dadanya mendadak tak ramah pada oksigen yang ia hirup dengan berat. Sesak rasanya. Diapun memukul-mukul pelan dadanya dengan refleks.


***

Dia berdiri di tepi jalan, masih dengan pikiran yang entah kemana, sekelebatan memori bergerombol merasuki otaknya yang tak bisa ia kendalikan.

“aku gabakal lah ninggalin kamu, susah dapetinnya”
“aku gabakal bisa bahagia kalo gasama kamu”
“aku Cuma mau kamu”
“iya, aku gaakan pergi”
“aku sayang sama kamu, Ashilla. Sayaaang banget”

Ah. Dia pijat pelan pelipis kepalanya. Terlihat raut wajah yang muak dengan ingatan yang tiba-tiba terlintas di benaknya. ‘pembohong. Kamu pembohong besar. Bajingan. Jahat’ gerutunya dalam hati. Sakit benar sakit. Hati yang biasa memuji sosok yang ditunggunya itu kini justru mengutuk habis-habisan.

Suara klakson kendaraan umum menyadarkannya. Kembali dapat ia dengar riuh jalan raya, dan banyaknya tatapan orang yang melemparkan banyak tanya tentang kondisinya saat ini. Dia tak tau mau kemana, rasanya ingin pergi jauh. Meninggalkan semua jejak kenangan yang dapat mengingatkannya dengan Cakka.

Dia menuju sebuah stasiun kereta, dia tidak ingin pulang dengan keadaan separau itu. Diapun memutuskan pergi ke suatu rumah temannya yang cukup jauh. Butuh waktu 1,5 jam untuk sampai dirumah temannya dari tempatnya berada. Tidak apa-apa baginya. Memang dia sedang ingin pergi jauh saat ini.

Selama diperjalanan, dia habis-habisan menahan rasa sesak di dadanya dan rasa panas di permukaan matanya. Rasanya ingin cepat  ia tumpahkan semua kekecewaan yang dia rasakan saat itu. Di suatu perjalanan menuju rumah temannya, ia menyinggahi sebuah rumah ibadah, masjid pada sudut staasiun cukup sepi. Karena ini sudah melewati beberapa jam waktu solat zuhur.

Dia masuk untuk melakukan sembahyang dan kemudian ia menyilakan kakinya. Terasa sedikit tenang. Dia menengadahkan tangannya, kemudian berdoa. Dia curahkan segala kekecewaan  pada-Nya. Memohon pada-Nya untuk membuat ia merasa lebih baik.

Namun, kupikir ada hal yang sangat bdoh akan permintaannya.

Bodohnya dia meminta untuk membuat Cakka kembali.

Bodohnya dia berharap semua kan baik-baik saja.

Bodohnya dia mengemis agar dia tetap bersama Cakka.

Bodohnya dia saat itu. Dia tak bersyukur. Dia sangat marah. Sangat kecewa. Dan merasa murka.

Kemudian dia keluar, pandangannya sedikit lebih fokus. Dia teruskan perjalanan menuju rumah temannya. Tak butuh waktu lama dari stasiun untuk tiba di rumah temannya.
Baru saja dia ingin mengetuk pintu rumahnya, namun temannya sudah meneriaki namanya dari dalam. Temannya pun membuka pintu, menunjukkan wajah khawatirnya.

“dia ga datang Vi” ujarnya langsung dan memeluk Sivia. Tangisnya lagi-lagi pecah. Dia ingin setidaknya ada 1 orang yang tau bahwa dia benar-benar dalam kodisi yang sangat tidak baik.

***

Beberapa bulan kemudian…..

Diary yang sudah sangat lama tidak ia sentuh, ia beranikan diri untuk menyentuhnya. Ia buka lembar demi lembar, terlalu banyak nama Cakka disertai sebuah simbol love pada sudut kiri atas tiap lebarnya. Terlalu banyak cerita dengan tagline ‘aku bahagia karnamu, Cakka’ pada tiap akhir catatan hariannya itu.

Lembaran demi lembaran yang biasanya ia baca tanpa bosan tiap harinya kini berubah menjadi sebuah hal yang paling menyakiti dirinya.

Tangannya terhenti pada 1 halaman kosong, ia raih pulpen yang selalu menempel pada sisi buku diarynya itu. Ia arahkan pulpen itu untuk kembali membuatnya menulis. Namun ada yang berbeda dari tulisannya kali ini, tak lagi ia tulis terlebih dahulu nama Cakka pada sudut kiri atas halamannya dengan simbol love. Dan tidak ada tagline dengan kalimat ‘aku bahagia karnamu, Cakka’ pada penghujung catatannya.


“Cinta itu ga adil.
Karna dia pada akhirnya menyisakan 1 yang bahagia dan 1 yang tersakiti.
Karna dia pada akhirnya menyisakan 1 yang akan menjadi lebih baik dan 1 yang akan menjadi hancur.
Namun kenapa kulihat banyak insan mengharapkan ada cinta yang datang.
Kenapa banyak orang mejadi penikmat cinta berulang kali.
Apa hanya aku yang merasakan cinta itu tidak baik?
Atau hanya aku yang pada akhirnya tidak lagi dapat mencinta?
Atau ternyata hanya aku yang pernah terluka karna cinta?
Cinta itu tidak baik.
Hanya akan menghancurkanmu.
Jangan lagi percaya dengan cinta.”

Tulisnya. Ia menggigit keras bagian bawah bibirnya. Menahan agar airmatanya tak lagi jatuh. Ia segera menutup diarynya. Menguncinya dan meletakkan pada sebuah kardus yang berisi banyak benda pemberian Cakka. Kunci yang merupakan satu2nya alat yang dapat ia gunakan untuk membuka diarynya itu ia buang ke tempat sampah. Ia lakban kardus dihadapannya. Dan menyimpannya pada sebuah tempat yang membuatnya tidak bisa melihatnya.


***


Epilog :


Seumur hidupnya, Ashilla adalah sesosok gadis yang dikenal baik hati, periang, anggun, dan mengagumkan. Selalu peduli dengan kebahagiaan orang disekitarnya. Namun sejak kejadian yang membuatnya kehilangan seseorang yang membuat dirinya begitu merasa sempurna, tak akan lagi kau temukan cahaya dari padangan matanya. Baginya, hidupnya sudah berakhir. Ashilla yang dulu sudah pergi bersama cintanya. Kini Ashilla hanya hidup sebagai dirinya yang baru, yang mungkin hanya akan ada karna memang ia masih hidup. Tanpa lagi percaya dengan cinta. Tanpa ada lagi coret-coretan wish list pada diarynya. Tanpa ada lagi kebahagiaan yang utuh untuk ia tunjukkan.

Kini Ashilla hanya menjadi seorang yang akan terlihat berbeda, seorang yang rasanya ingin ku doakan agar dikirimkan seseorang yang dapat mengembalikan cahaya di matanya, senyum bahagia di bibirnya, dan sosok yang akan mengagumkan lagi.

***


Cerita ini terlalu singkat, karna aku sendiri sebagai sudut pandang pertama, tak kuasa untuk menuliskan setiap kata untuk menggambarkan betapa terpuruknya Ashilla sebagai tokoh pada sudut pandang ketiga.
Terimakasih.