search judul postingan

Mengutuk Sang Detik


Dengan pandangan yang tidak sanggup menjangkau ragamu.
324000 detik kulewati, puan.
kepercayaan terhampar diatasnya.
Telah  kucicipi dan terasa gundah pada tiap sisinya.
Kata tunggu darimu terngiang di otakku.
Membuatku tergerak tuk menaburi begitu banyak doa.
Lalu, kau kembali. Merekahkan kebahagiaan untukku.


Lagi,
Ku taruhkan 10800 detik untukmu, puan.
Pada sepi dan resah
ku bermain-main dengan sebuah tali
yang menggantung harap akan suara derap langkahmu.
Tapi, tali itu terputus.
Digunting oleh setiap pengkhianatan yang kau kirim.
Bukan lagi kepercayaan yang terhampar.
Kini aku yang terdampar.
Kamu, tidak datang puan.


Apa gerangan yang membuatmu berubah
Begitukah sebuah penantian seharusnya dibalas
Atau kita terlalu membuat Sang Pemilik Hati cemburu
Pada tiap doa yang kita panjatkan untuk saling mencinta
Hanya berujung pada sebuah perpisahan
Inikah ujian atau petunjuk


Wahai Pemberi Cinta,
Haruskah ku menanti lagi atau berhenti
Pada puan yang bahkan enggan menukar 60 detiknya untukku?
Kemudian diam terasa begitu berkawan

Aku berpasrah pada-Mu.

ENDING


Dia sedikit tersenyum melihat sebuah pesan telah tiba di ponselnya. Ada seseorang yang ingin menemuinya.

“5 menit lagi harus sampe ya” tertulis sebuah pesan masuk pada handphonenya.

“ah yang benar saja orang ini” gerutu dia.

Dia yang masih tenggelam dalam balutan selimut segera bangkit. Dengan sisa rasa pusing dikepalanya karena sudah 3 hari lamanya ia demam, membuatnya berjalan dengan sempoyongan. Ia merasakan hawa dingin yang dengan nakal menggelitiki kulitnya.

“uh, dingin banget deh” ujarnya yang merasa menggigil. Ia kemudian memutuskan untuk menggunakan air hangat untuk mandi.

Dengan kondisi badannya yang kurang sehat sungguh menghambat kecepatan pergerakan tubuhnya. Sesekali ia harus terduduk dulu. Karena ia terlalu sibuk merias wajahnya agar tidak terlihat pucat membuatnya lupa bahwa ia sudah terlalu lama bersiap-siap. Ia kemudian meraih handphone nya. Terdapat beberapa pesan yang datang ke ponselnya dari seseorang yang ingin menemuinya itu.
Ia segera membukanya dan benar saja ternyata orang itu sudah menunggunya di tempat yang ia putuskan untuk bertemu.

“ah, kukira dia akan menjemputku” gumam gadis itu, tapi ia tetap merasa tidak apa-apa, karna kali ini yang terpenting ia bisa berjumpa. Kemudian ia menggerakan jari-jarinya untuk segera membalas.

“udah sampai ya?” tanyanya.

“iya. Pliss jangan lama. Lu tau kan bagi cowo nunggu 1 menit itu lama” balas seseorang disebrang sana.

Tubuhnya seketika kembali merasa lemas. Seperti tarikan gravitasi terasa lebih kuat dari biasanya. Dia langsung mengutuk segala rasa bahagia yang ia rasakan sebelumnya. Untuk apa? Pikirnya. Bahagia bertemu dengan orang yang tidak pernah tau apa itu menunggu. Bahagia bertemu untuk seseorang yang tidak pernah menghargai sebuah penantian. Rasanya ia ingin bersumpah untuk tidak lagi dipertemukan dengan seseorang seperti ini, dan semoga suatu saat ia akan mengerti betapa pentingnya menunggu sesuatu. lihat saja.

Matanya sudah terasa perih, ia ingin menangis. Merasakan terseret pada sebuah waktu dimana ia pernah menjadi seseorang yang dengan bodoh dan setia menunggu cowo itu 3 bulan lamanya. Ia bahkan pernah menunggu orang itu dengan rasa percaya selama 3 jam dan yang di tunggu tidak datang. Lalu ia berpikir, untuk apa menangisi orang seperti itu? Tidak berguna.

Dia segera melangkahkan kakinya keluar rumah membawa segala amarah untuk ia lemparkan pada orang yang sedang menunggunya.

Sesampainya di tempat yang ia janjikan tidak butuh waktu lama baginya untuk menemukan orang itu.

“tuh, Cuma mau kasih itu. Kalo mau pergi. Silahkan” ujarku dengan tegas. Ku berikan pandangan yang semoga saja bisa menamparnya. Namun ketika ia memandangku, entah mengapa tetap ada perasaan yang aneh. Pandangan matanya sangat sulit untuk ku baca. Bahkan, ia terlihat takut untuk menatapku.

Terdapat beberapa pertanyaan yang terus lelaki itu lontarkan padanya. Dia pun menjawab seadanya.   Tidak banyak ingin gadis itu bicara pada lelaki dihadapannya kali ini. Terasa asing.  Tidakkah lelaki itu ingin bertanya apa gadis itu baik-baik saja? Atau sang gadis sudah terlalu hebat dalam menyembunyikan ketidak-baik-baik sajanya itu?

Tidak lama, laki-laki dihadapannya pamit untuk segera pergi. Gadis itu semakin saja dibuat sakit olehnya.
“kayaknya gue harus pulang duluan” ujarnya.

“jangan pergi dulu” gumamnya dalam hati. Namun gadis itu mengangguk pelan.  Tiada kuasa ia untuk menahannya pergi. Untuk apa? Lagi-lagi pikirnya.
“iyaudah” jawab gadis itu dengan sangat berusaha agar suaranya tidak terdengar bergetar.

Tanpa basa-basi lagi, laki-laki dihadapannya benar-benar beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan seorang gadis sendirian. Ia berjalan terus tanpa menoleh sedikitpun.

“kamu kenapa?” tanyanya dalam hati. Ingin sekali rasanya gadis itu menyunggingkan sepotong senyum untuk lelaki yang kini semakin menjauh saja. Bukan pertemuan seperti ini yang gadis itu harapkan. Bukan. apa semuanya benar-benar tidak dapat diperbaiki lagi? 

Setelah tidak lagi pandangannya menjangkau punggung  laki-laki itu. Gadis itupun menarik napas dengan dalam. Kemudian menghembuskannya. Mecoba untuk baik-baik saja.  

Gadis itu menundukkan kepalanya. Menggigit bibir bawahnya dengan keras. “jangan nagis. Ayo kuat. Semua ini terjadi karena aku kuat. Jangan nangis lagi untuk laki-laki seperti itu, kumohon” ocehnya dengan lirih. Namun nihil, airmatanya dengan paksa berderai untuk mengusap kedua pipinya.

“aku gakuat. Katanya segala sesuatu akan terjadi tanpa diluar batas kesanggupan tiap orang. Lalu apa ini? Aku gakuat.” ujarnya.

Dia benar-benar tidak tau harus melakukan apalagi. Ia putus asa dan berkali-kali dengan lirih mengucapkan “aku gakuat”. Lalu, ia teringat dan menyetujui apa yang diucapkan seorang penulis bernama Soe Hok Gie, bahwa memang benar beruntung sekali orang-orang yang telah mati muda.

Pikiran gila mulai merasukinya. Rasanya ia ingin segera mengalihkan rasa sakit hatinya dengan rasa sakit yang lain. Matanya tertuju pada jalan raya dengan lalu lalang mobil dan motor yang melaju dengan cepat. Khayalnya membawa ia untuk berada ditengah-tengah jalan itu dan rasanya ia ingin ....

Pikirannya tersadar setelah sebuah dering handphone yang menggetarkan genggamannya. Ada telpon masuk. Ia segera mengangkatnya.

“Ashilla?” terdengar suara lelaki yang tidak asing ditelinganya.

“kenapa Rio?” tanya gadis itu dengan amat pelan.

“lagi dimana?”

“lagi di tempat makan nih” jawab Shilla.

“sama siapa lu?” tanyanya.

“sendiri”

“dih kayak orang bego” ujarnya

“emang gue bego” jawab Shilla dengan isakan.

“eh? Elu kenapa eh?” terdengar suara panik dari sebrang sana.

“gapapa”

“ih suara lu beda. Udah pulang sono. Nanti kita main sama sivia juga. Lu lagi pengen masakan jepang kan? Ntar kita kesanaaa”

“iya”  ujar Shilla.

“eh sekarang aja deh. Lu dimana? Gue jemput”

Shilla memberitau keberadaannya. Seperti telah dikirimkan penolong dari Tuhan untuk menyelamatkan hidupnya. Tidak butuh waktu lama Shilla bertemu dengan Sivia dan Rio. Shilla diajak ke sebuah tempat yang memang sedang sangat ia harapkan ada seseorang yang mau menemaninya kesana.

Dan disanalah pada akhirnya mereka berada. Menyaksikan keparauan seorang Shilla.

“pasti abis ketemu sama Cakka” tebak Sivia membuka percakapan.

Shilla mengangguk.

“dasar bego. Kalo lu ade gue, udah gue marahin abis-abisan lu. Gue suruh jangan pernah ketemu lagi sama cowo itu. Bego banget dasar” omel Rio pada Shilla.

“Riooo..” tegur Sivia.

“biarin aja vi. Emang gue bego” ujar Shilla dengan lirih. “taaaaapiiii, sekarang gue harus seneng ah. Gue mau makan kare udon. Gue tunggu sini. Kalian yang pesen. Haha cepet-cepet!” perintah Shilla. Entah kenapa dia berlaku sperti itu. Seolah rasa sakitnya lenyap begitu saja. Ia lemparkan senyuman terbahagianya untuk Rio dan Sivia yang merupakan sahabatnya sejak SD. Mencoba meyakinkan 2 sahabatnya itu bahwa Shilla baik-baik saja.

Kedua sahabatnya ikut tersenyum. Tanpa mengelak dua orang itu meninggalkan Shilla untuk membawakan apa yang diinginkan Shilla. Kedua sahabatnya selalu menyemogakan Shilla untuk kembali menjadi Shilla yang bahagia selalu. Dan tanpa membutuhkan waktu yang lama, kedua sahabatnya telah kembali tiba di meja makan yang Shilla tempati.

“ini tuan putri” ujar Rio yang mampu membuat Shilla merasakan geli dipipinya.

Rasa sakit itu memang ada. Namun, ia rasa tidak sepantasnya rasa sakit untuk dibagikan kepada orang lain. Cukup rasa bahagia yang seharunya untuk dibagi kepada banyak orang yang berharga dan mengargainya. Sambil berbincang dan melepas tawa bersama 2 orang sahabatnya yang ia temukan semasa SD itu. Shilla sempat menyelipkan sebuah doa.

“ya Tuhan, terimakasih telah menghadirkan mereka disaat aku terguncang hebat tadi. Untuk kali ini, aku mohonkan padamu,aku sudah merelakan segalanya yang telah pergi dariku, cita-citaku, sahabatku, bahkan Cakka. Tapi,  jangan biarkan mereka meninggalkanku. Bahkan ku mohon pertemukan kami bertiga di surga nanti.”

Semua kesedihan yang ada bukanlah tanda dari berakhirnya sebuah kisah. Karna pada akhirnya, sebuah kisah telah dipastikan akan menemukan akhir yang bahagia. Maka yakinlah, akan ada kebahagiaan yang sedang menuju ke arahmu setelah rasa sakit yang begitu hebat.

***

Tamat.
The really tamat of story about him. Hihi gasabar bertemu sebuah kisah yang baru.

Seee you ! :)